WARTALAPOR - Apple dan Meta baru saja dikenai denda total US$ 800 juta (Rp 13,5 triliun) oleh Uni Eropa. Denda ini membuat para pemimpin Apple dan Meta merasa tidak nyaman dan meminta bantuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Denda tersebut merupakan bagian dari upaya Uni Eropa untuk mengatasi dominasi perusahaan teknologi besar di ruang digital melalui peraturan Digital Markets Act (DMA), yang bertujuan untuk menciptakan persaingan yang sehat.
Digital Markets Act, yang mulai diterapkan sepenuhnya pada Maret 2024, mengatur perusahaan-perusahaan besar yang disebut "gatekeepers". Sebuah perusahaan dianggap sebagai gatekeeper jika memenuhi beberapa kriteria, seperti omzet tahunan di Eropa minimal 7,5 miliar euro dan memiliki platform dengan lebih dari 45 juta pengguna bulanan aktif. DMA menetapkan larangan dan kewajiban bagi gatekeepers, termasuk tidak boleh memprioritaskan produk mereka sendiri dan harus memberikan akses kepada layanan pesaing.
Gatekeeper yang melanggar DMA dapat dikenakan denda hingga 10% dari omzet global tahunan dan denda lebih tinggi untuk pelanggaran berulang. Selain itu, dalam kasus serius, Uni Eropa dapat memaksa perusahaan untuk membubarkan bagian dari bisnis mereka. Pada September 2023, enam perusahaan, termasuk Alphabet dan Microsoft, ditetapkan sebagai gatekeeper.
Berbeda dari DMA, ada juga Digital Services Act (DSA), yang berfokus pada keselamatan pengguna dan perlindungan hak-hak digital. DSA mengatur platform online seperti e-commerce dan jejaring sosial untuk melindungi pengguna dari konten ilegal dan penyalahgunaan algoritma.
Pada September 2024, Apple mendapat peringatan dari Uni Eropa untuk membuka akses perangkat lunaknya ke kompetitor. Jika tidak, Apple berisiko dikenakan denda. Dalam waktu enam bulan, Apple gagal memenuhi permintaan ini. Akibatnya, mereka didenda 500 juta euro (Rp 9,6 triliun) karena dianggap melanggar kewajiban di bawah DMA.
Apple menyatakan berencana untuk mengajukan banding serta melanjutkan diskusi dengan Uni Eropa. Di sisi lain, Meta didenda 200 juta euro (Rp 3,8 triliun) karena secara ilegal mengharuskan pengguna untuk membayar layanan jika tidak ingin berbagi data mereka. Meta menganggap tindakan Komisi sebagai upaya untuk merugikan bisnis mereka.
Di samping itu, ByteDance, pemilik TikTok, kalah dalam gugatan di Uni Eropa terkait statusnya sebagai gatekeeper. Pengadilan memutuskan bahwa TikTok memenuhi syarat untuk digolongkan sebagai gatekeeper. ByteDance menyatakan kecewa tetapi berjanji untuk mematuhi aturan yang berlaku sebelum tenggat Maret.
ByteDance juga mengkhawatirkan bahwa keputusan ini dapat mengurangi efektivitas UU Pasar Digital, yang seharusnya melindungi perusahaan-perusahaan kecil dari dominasi perusahaan besar. Raksasa teknologi tersebut masih memiliki kesempatan untuk mengajukan banding ke pengadilan tertinggi di Eropa.
Narasumber https://wartalapor.blogspot.com/