WARTALAPOR - Amerika Serikat dan China sedang bersaing dalam teknologi kecerdasan buatan (AI). Kedua negara saling memblokir teknologi untuk menghalangi kemajuan AI satu sama lain. Sejak pemerintahan Joe Biden dan Donald Trump, AS telah mengeluarkan kebijakan yang membatasi ekspor chip ke China, sementara China membalas dengan memblokir ekspor mineral penting seperti galium dan germanium ke AS, yang dimanfaatkan untuk pengembangan semikonduktor.
Chip menjadi komponen penting dalam pengembangan AI, digunakan untuk menganalisis data besar dan melatih AI agar berfungsi dengan baik. AS ingin menghambat kemajuan AI di China karena khawatir AI akan digunakan untuk memperkuat militer China. Namun, China mengambil langkah untuk mandiri dan mengurangi ketergantungan pada AS, dengan meluncurkan program pendanaan bertajuk 'Big Fund' untuk memperkuat industri semikonduktor.
Ketegangan antara AS dan China bermula sejak Perang Dingin, dan kini dampaknya terlihat dalam persaingan AI. Potensi ekonomi dari AI diperkirakan mencapai hampir US$20 triliun pada tahun 2030, sehingga negara yang menang dalam persaingan AI berpeluang besar untuk menjadi penguasa dunia.
Di akhir tahun 2024, US-China Economic and Security Review Commission (USCC) merekomendasikan pendanaan untuk pengembangan Artificial General Intelligence (AGI), yang setara atau lebih cerdas dari manusia. Pendanaan ini dianggap penting, mirip dengan Proyek Manhattan saat Perang Dunia II yang fokus pada pengembangan bom atom. USCC berpendapat bahwa negara yang memimpin dalam teknologi akan mempengaruhi perubahan kekuatan global. Komisioner USCC menyatakan bahwa pengembangan AGI harus menjadi prioritas nasional dalam pertahanan AS.
Rekomendasi tersebut mendapatkan respons positif dari Trump, dengan pengumuman investasi US$500 miliar untuk membangun infrastruktur AI. Investasi ini didukung oleh perusahaan besar seperti OpenAI dan SoftBank, yang membentuk usaha patungan bernama Stargate untuk mengembangkan data center dan menciptakan lapangan kerja. Proyek pertamanya sudah dimulai di Texas dengan rencana untuk membangun 20 data center.
Setelah rekomendasi USCC, China meluncurkan model AI R1 DeepSeek pada Januari 2025. DeepSeek adalah sistem AI open source yang bisa diunduh secara gratis, dianggap mampu menyamai teknologi AS dengan biaya jauh lebih rendah. Pengembangan R1 hanya memakan biaya US$5,5 juta, yang jauh lebih efisien dibandingkan investasi miliaran dolar dari perusahaan AS.
Peluncuran DeepSeek mengejutkan pasar, menyebabkan saham AS jatuh dan kehilangan nilai ratusan miliar dolar. DeepSeek juga berhasil mengalahkan ChatGPT di App Store. Ini menunjukkan bahwa China tetap mampu bersaing di tengah berbagai larangan dari AS.
Bumerang Blokir Chip AS ke China
Kemunculan DeepSeek membuat AS semakin marah. Pemerintahan Trump menuduh China menyelundupkan chip Nvidia yang dilarang, sehingga dapat mengembangkan DeepSeek. Penyelidikan mengenai penyelundupan chip Nvidia ke China masih berlangsung, sementara Trump terus memblokir pengiriman chip ke China.
Terbaru, Trump mengumumkan pemblokiran chip H20 Nvidia ke China. Chip ini sebenarnya dirancang oleh Nvidia khusus untuk China agar tidak melanggar aturan. Tindakan ini bisa menjadi bumerang bagi AS, karena Nvidia sudah memperingatkan bahwa pemblokiran total akses chip akan memperkuat kemandirian China dan merugikan raksasa AS.
China adalah pasar utama bagi Nvidia, yang menyumbang 22% pendapatan sebelum kebijakan kontrol ekspor diperkenalkan Joe Biden pada 2022. Kini, kontribusi dari China berkurang menjadi 13%. CEO Nvidia, Jensen Huang, mengatakan pasar AI China memiliki potensi hingga US$50 miliar dalam 2-3 tahun ke depan, dan kerugian besar akan dialami perusahaan AS jika tidak memanfaatkan peluang ini.
Kekhawatiran Nvidia beralasan. Laporan menyebutkan Huawei sedang menguji chip AI canggih untuk menggantikan Nvidia. Huawei telah mendekati berbagai perusahaan teknologi di China untuk menguji chip baru bernama Ascend 910D.
Di tengah perang antara dua kekuatan ekonomi ini, negara lain seperti UEA, Inggris, Jerman, Jepang, Korea Selatan, dan Indonesia mulai berinvestasi dalam AI dan infrastruktur. Data center menjadi penting untuk menyimpan dan memroses data. Asia Tenggara kini dilirik untuk pembangunan data center karena memenuhi kebutuhan lahan dan listrik. Johor, Malaysia, menarik banyak proyek data center, dengan kapasitasnya tumbuh pesat.
Malaysia menarik investasi karena regulasi yang mudah, sementara Singapura sudah lebih dulu menjadi lokasi data center favorit. Thailand, Vietnam, dan Indonesia juga mulai menarik perhatian, meskipun belum sebanyak Malaysia dan Singapura.
Pengembangan AI cepat memberikan banyak peluang baru. Para ahli berpendapat era AI sudah menjadi kenyataan yang harus dihadapi. Setiap negara perlu membuat regulasi jelas untuk mengurangi risiko negatif dari perkembangan AI, terutama dalam hal etika, keamanan, dan ancaman kehilangan pekerjaan.
Narasumber https://wartalapor.blogspot.com/
www.slot-500.org
www.slot1000k.com
www.bet-888.org